Tentu saja konteks senyum di sini bukanlah senyum sinis,
ataupun senyuman gelap lainnya, melainkan senyum penuh ketulusan yang bertujuan
mencerahkan suasana, menyalurkan keramahtamahan dan kebaikan. Wajah yang
tersenyum mencerminkan sebuah pribadi yang rendah hati dan tidak angkuh terhadap orang lain. Bukankah terdapat
larangan bersikap angkuh kepada orang lain ketika bertemu, di dalam Al-Qur’an?
Tuesday, February 25, 2014
Tuesday, April 16, 2013
Suatu hari di
penghujung malam. Ingatlah sahabat akan kepastian yang akan mendatangi setiap
jiwa. Sesaat sebelum engkau memejamkan mata, heninglah sejenak dan ingatlah
tentang kehidupan. Renungkanlah setiap perbuatan. Sudahkah ia bermakna?
Sudahkah ia menjadi sebuah warna bagi kehidupan? Bukalah mata hati dan jujurlah
pada dirimu. Sudah pantaskah diri ini? Sudahkah kita tinggalkan jejak terbaik
bagi kehidupan manusia? Ataukah hanya menjadi debu di atas batu yang hilang
tertiup angin?
Rasulullah saw. Pernah
bersabda,”Orang yang cerdas (bijak) itu adalah orang yang selalu mengingat
kematian. Wahai manusia.. sudah lupakah kita dengan kepastian ini? Dunia ini
adalah kumpulan ketidakpastian, namun ada satu yang pasti bahwa kita akan mati.
Kematian adalah sebuah gerbang menuju kehidupan selanjutnya.
Teringat sebuah
kisah dari sebuah buku. Ada seorang raja yang bijaksana, memimpin negeri dengan
jujur dan adil. Sang raja meskipun memiliki tahta yang tinggi, ia hidup
layaknya rakyat biasa, makan sebagaimana halnya rakyat biasa, dan tidak
menghabiskan waktuya hanya dengan berpesta. Sang raja ini memiliki seorang adik
yang memiliki kebiasaan yang jauh dari sang kakak. Adik raja ini terbiasa hidup
berfoya-foya, terbiasa lupa diri, meskipun bukan raja namun bertindak seolah
raja, hidup tanpa peduli dengan
kehidupan yang seharusnya dijalani, stress berat saar masalah menghadang, dan
berpesta-pora di setiap hari jika sebuah problem berhasil dilewati.
Melihat kelakuan
sang adik, Raja yang bijak pun memiliki rencana untuk memberikan pelajaran
kepada adiknya ini. Ia merancang sebuah rencana bersama dengan
menteri-menterinya untuk “menjebak” sang adik. Skenario pun dimulai.
Sang kakak mandi di
pemandian umum, kemudian ia menaruh jubah dan mahkotanya begitu saja. Sang adik
sedang berjalan-jalan dengan para menteri. Diatur sedemikian rupa sehingga sang
adik melintasi pemandian umum dan melihat mahkota serta jubah raja yang
tergeletak begitu saja. Melihat benda-benda itu sang adik pun menjadi tergoda
untuk memakainya. Para menteri berkata pada sang adik,”Wahai Pangeran, cobalah
mahkota dan jubah itu. Siapa tahu Anda akan merasakan bagaimana rasanya menjadi
raja suatu saat nanti.” Namun, meskipun sang adik tergoda sang adik tidak mau
memakainya. Para menteri yang sudah berskenario terus memaksa dan memuji-muji
sang adik sampai akhirnya ia mengenakan mahkota dan jubah itu. Sang kakak pun
datang dan memergoki adiknya menggunakan mahkota dan jubah kerajaannya. Sang
raja berkata,”Wahai adikku, apa yang kau
lakukan? Kenapa kamu menggunakan jubah dan mahkotaku? Apakah engkau ingin
memberontak kepadaku?”. Dengan ketakutan sang adik menjawab,”Tidak, wahai
raja.. aku tidak bermaksud demikian. Aku hanya....”. “Cukup! Aku tak mau lagi
mendengar alasan lagi darimu. Kamu harus mendapat hukuman. Berikan ia hukuman
mati di 7 hari mendatang karena berencana
memberontak padaku!” ucap sang raja. “Tapi, Raja.. tolong ampuni aku.
Aku tak akan lagi mengulangi kesalahanku.” sang raja berkata,”Tidak bisa!
Hukuman harus dilakukan. Tapi, baiklah agar engkau bisa mati dengan bahagia dan
karena engkau sudah terlanjur memakai mahkota kerajaan itu, dalam 7 hari ini
kamu boleh bertindak sebagai raja. Kamu boleh melakukan apapun, makan
sepuasnya, berpesta sepuasnya, kamu bisa memiliki selir-selirku, dan segala kekuasaan
raja.”
7 hari pun
berjalan. Saat hari eksekusi tiba. Sang adik yang terlihat begitu frustrasi
dihadapkan pada sang raja. “Adikku, selama 7 hari kujadikan engkau seorang
raja, bagaimana perasaanmu? Apa yang telah kau lakukan? Apakah kau
menikmatinya?” Sang adik menjawab,”Bagaimana mungkin aku bisa menikmati itu
semua sedangkan setiap waktu dalam pikiranku aku selalu teringat bahwa kematian
itu akan datang padaku. Bagaimana aku bisa bersenang-senang sedangkan aku tahu
bahwa hukuman mati itu akan datang”
Sang raja pun
tersenyum karena sang adik telah mengerti dengan pelajaran yang telah
direncanakannya, akhirnya sang adik pun dibebaskan dan sang adik hidup dengan
lebih baik dari sebelumnya.
Kehidupan adalah
sebuah hukuman mati bagi kita. Kita tak tahu kapan hukuman itu terjadi tapi
hukuman itu pasti datang. Bisa 3 hari lagi, 3 pekan lagi, 3 tahun lagi. Kita
tak pernah tahu. Kematian memberikan pelajaran pada kita tentang apa arti
hidup, apakah untuk hidup bergelimang kekayaan? Hidup dalam kemewahan? Atau hidup
dalam kebahagiaan yang hakiki?
Kematian mengingatkan
pada kita bahwa kita ini sedang dalam pertunjukan amal. Sehebat apakah kita
memainkannya sehingga saat kita meninggal kita telah memainkan orkestra
kehidupan kita dengan sebaik-baiknya dengan harmonisasi yang luar biasa.
Kematian memberikan
pelajaran pada kita bahwa kehidupan ini adalah sebuah “masa yang akan berlalu”.
Saat-saat bahagia di kehidupan ini tak akan berlangsung lama sehingga kita akan
tetap teguh dalam apa yang benar dalam menjalani kehidupan ini. Begitu juga
dengan saat-saat sedih, ia pun akan berlalu sehingga kita menjalaninya dengan
penuh semangat dan motivasi.
Terakhir,
kematian memberikan pelajaran bagi kita bahwa
hidup ini ga cuma tentang kerja jadi apa nanti, jabatannya apa nanti. Hidup ini
adalah tentang bagaimana kamu memberikan yang terbaik dalam setiap kesempatan.
Hidup ga Cuma tentang berapa Ip kamu , tapi juga tentang sebermanfaat apa ilmu
itu? kehidupan ini sementara, sehingga
karena sifatnya yang sementara itulah setiap sisi dalam kehidupan ini harus
dimaksimalkan. Ia tidak berbicara tentang seberapa lelah kamu dalam mendapatkan
hasil. Tapi seberapa lelah kamu belajar untuk lebih baik di setiap hari kamu
bangun tidur.
Sumber”
Al Hadits
Buku “Cacing dan Kotoran Kesayangannya”
Penulis: Ilham Muhammad
Sabar adalah salah satu sifat yang mulia. Semua orang
sudah tahu hal itu. Sabar merupakan perilaku yang terpuji. Penyataan ini pun
telah jadi kebenaran umum. Sabar itu sifat yang baik. Hal ini memang begitu benar
adanya. Ya, sabar, sifat yang dimiliki oleh setiap manusia di dunia. Benarkah
setiap orang memilikinya? Nah, kalau pernyataan terakhir ini apakah memang
sudah teruji kevalidannya? Pertanyaannya apakah kita sudah sabar???
Sunday, March 24, 2013
Memaknai Liburan dan Ramadhan
Ramdahan dan liburan adalah dua waktu yang sangat bermakna. Biasanya, kehadiran keduanya dinantikan oleh banyak orang setiap tahunnya. Ada banyak hal yang dapat kita lakukan dan temukan padanya yang sulit untuk kita dapatkan pada waktu selain keduanya. Buka dan sahur bersama kedua orang tua, pergi ke masjid bersama-sama, merasakan bagaimana 'asyiknya' menunggu berbuka dll.. Sedangkan ketika liburan tiba, kita bisa bepergian bersama keluarga, atau justru di rumah saja karena lelah beraktifitas, bahkan mengerjakan sebuah 'proyek' bisnis dan hal psotif pengisi liburan yang lain.
Sekarang, bagaimana kalau Ramadhan dan liburan digabungkan? :-)
Bagaikan dua makanan manis yang berbeda. Sama sifat manisnya tetapi berbeda rasanya. Jika digabungkan -misalnya dengan dimakan bersama- pastilah semakin manis dan semakin banyak rasanya. Setuju? Sama halnya dengan Ramadhan dan liburan, sama-sama sangat bermakna tetapi berbeda. Jika digabungkan, akan semakin bermakna dan banyak rasa.
Bicara soal Ramadhan dan liburan, di Kampus ITB, insyaaallah tahun 2013 ini Ramdhan datang pada waktu liburan. Melihat kalender, Ramadhan akan hadir sekitar awal pekan kedua Bulan Juli sedangkan mahasiswa ITB mulai liburan pada 21 Mei sampai tiga bulan setelahnya. Biasanya setiap mahasiswa sudah memiliki rencana dengan liburannya itu. Ada yang KP, ada yang mengikuti suatu kepanitiaan kegiatan, ada yang ingin pergi menjelajah sepuas-puasnya. So, what?
Masjid Salman menawarkan sebuah alternatif pilihan untuk teman-teman, nih. Insyaallah, melanjutkan keberhasilan pada waktu-waktu sebelumnya, tahun ini kembali dibentuk kepanitaan Ramdahan. Namanya adalah Panitia Pelaksana Program Ramadhan 1434H (P3R 1434H). Kepanitaan ini -sebagaimana P3R sebelum-sebelumnya- memiliki visi untuk mengelola segala kegiatan pada Bulan Ramadhan di Masjid Salman ITB dan sekitarnya agar Ramdahan menjadi semakin bermakna dan kaya rasa. Ada banyak kegiatan yang bisa dilakukan dalam kepanitaan P3R. Merasakan indahnya berbagi kebahagiaan di suatu desa, bertemu dan berinteraksi dengan figur atau tokoh terkenal, menyaksikan pertunjukan bermacam kesenian, bahkan melakukan aksi kampanye lingkungan sebagai suatu wujud nyata kepedulian. Dan masih banyak hal lain. :-)
Masyaallah, sepertinya kegiatan-kegiatan P3R sangat luar biasa dan bermakna. Rasanya pun tidak sayang jika harus mengalokasikan sebagian waktu liburan untuk menjadi bagiannya. Berusaha memberikan manfat bagi orang lain di saat kita sendiri sedang berjuang untuk beribadah dan mencari berkah Ramadhan, Selain insyaallah memperoleh balasan dari-Nya -karena ketulusan niat memberikan manfaat untuk sesama-, kita juga dapat memperluas pergaulan kita dan mempererat sillaturrahim, menambah pengalaman, menambah ilmu dan pengetahuan atau mungkin -bagi yang sudah siap- mendaapat pasangan. Ups...
So, isilah liburan dan Ramadhan dengan hal-hal yang bermanfaat dan bermakna. Ada banyak pilihannya, salah satunya adalah P3R 1434H. Bagi yang kurang meminatinya, rencanakanlah dengan sebaik-baiknya. Manfaatkanlah dengan sebaik baiknya, karena waktu tidak akan kembali. Dan ada suatu masa yang telah ditetapkan, baik untuk seluruh semesta alam maupun setiap insan untuk datang dan kembali kepada-Nya. Dan kita tidak pernah tahu, kapan waktu kita akan tiba. Masih jauhkah?
(Oleh Gamifti 2012)
Sepenggal
Kisah di Desemberku
Oleh
Kasmawati (16712213)
1 Desember 2012, Sendai, Jepang
“Give me the ball, Mal, here, here!”
Richard, temanku di kelas internasional Marine Biology, Tohoku University,
melambaikan tangan meminta operan bolaku. Aku bingung, aku sedang terjepit.
Dikelilingi dua lawan berbadan besar seperti Steven dan Daniel membuatku
kewalahan. Ya sudahlah, ku tendang saja bolanya ke sembarang arah. Ku lihat
Sang Jun langsung mengambil bola itu dan menendangnya ke gawang timku.
Priiiit!! Tepat setelah itu peluit wasit berbunyi menandakan pertandingan usai.
Skor akhir 3-2, timku kalah. Hhhh…
Aku berjalan ke tepi lapangan. Richard
mengikutiku dan duduk di sampingku.
“You looked so confuse today.
What’s wrong?” Tanyanya.
Aku diam. Menatap langit Jepang yang
mulai menurunkan saljunya. Dingin yang ku rasakan sekarang lebih dingin dari
yang seharusnya. Apa yang harus ku katakan? Aku tak mau terlihat cengeng di
depan teman-temanku. Aku adalah lelaki!
Karena aku diam saja, Richard
mengulang pertanyaannya, mengira aku tadi tidak mendengar karena sedang
kelelahan. Aku tersenyum pahit.
“Nothing, I’m just tired and sleepy
because of so many lecture tasks that should be done last night,” Aku
berbohong.
Richard mengangguk-angguk. “Oh… I
suppose you have problems.”
Ku rasakan butiran salju mengenai
rambut dan baju hangatku. Aku merasa kesepian di keramaian ini. Semua ini
berawal saat aku menyadari waktu yang terus berputar mengembalikanku ke bulan
yang memiliki kisah tragis di kehidupanku, Desember…
26 Desember 2004, Aceh, Indonesia
Pagi ini aku pergi ke rumah Bibi. Aku
ingin bermain bersama sepupuku, Bahri, sambil menonton kartun di TV. Harusnya
sih aku ikut mengaji di surau, tetapi aku sedang malas. Jiwa kanak-kanakku
mengizinkanku untuk ini.
“Bahri, Akmal, ada susu nih. Ayo
diminum, jangan nonton kartun terus,” Panggil Bibi.
“Iya,” Kami berdua menyahut tanpa
memalingkan muka dari TV. Kartunnya sedang seru-serunya sih…
Tiba-tiba aku merasakan tubuhku
diguncang-guncang oleh bumi. Pintu dan jendela bergoyang. Gempa! Kami semua
panik. Bibi langsung menggamit tanganku dan Bahri dan berlari keluar rumah. Di
luar, ternyata sudah banyak orang yang bertujuan sama dengan kami, berusaha
menyelamatkan diri dari kemungkinan rumah roboh karena gempa. Namun tidak
beberapa lama kemudian gempanya berhenti. Semua orang terlihat lega dan mulai
memasuki rumah masing-masing.
Ayah menjemputku. Beliau khawatir aku
ketakutan karena tidak bersama Ibu. Sampai di rumah Ibu memelukku. Setelah
yakin bahwa aku tidak apa-apa, Ibu tersenyum lalu menyuruhku menggosok gigi.
Saat aku sedang menggosok gigi, gempa kembali mengguncang tubuh kecilku.
Cepat-cepat aku berkumur-kumur menyelesaikan gosok gigiku. Kedua orang tuaku
segera mengajakku keluar tepat saat gempa kembali berhenti.
“Ya sudah, untuk berjaga-jaga kita
keluar saja dari rumah. Mungkin akan ada gempa susulan yang lebih kuat,” Kata
Ayah.
Kami sekeluarga pun langsung keluar.
Benar kata Ayah, ternyata ada gempa lagi. Dan kali ini, kami semua terkejut
saat melihat air yang tinggi sekali ada di belakang kami. Lari, semua orang
berlari. Ayah dan Ibu yang berada di belakangku terus berteriak menyuruhku lari
sekuat tenaga. Kerusuhan yang terjadi sangat menggambarkan kepanikan kami.
Air raksasa itu semakin mendekat.
Ketika aku tak lagi mendengar suara teriakan kedua orang tuaku, aku menoleh ke
belakang. Aku semakin panik. Mereka sudah tidak terlihat! Lari, lari, aku terus
berlari. Lari, lari, aku terus berlari sambil dalam hatiku aku berdoa semoga
kami selamat dari air raksasa itu. Aku takut.
Ku lihat orang-orang berlari menuju
masjid kampung kami. Karena aku sudah benar-benar tidak tahu mau apa dan harus
bagaimana lagi, aku mengikuti mereka. Sesampainya di dalam masjid, aku melihat
keluar, air semakin dekat. Aku berlari lagi keluar masjid, aku mengira mungkin
aku masih bisa berlari jauh darinya. Tetapi aku semakin ketakutan, akhirnya aku
kembali lagi ke masjid. Ternyata air sudah masuk ke masjid, aku segera naik ke
atas mimbar, begitu juga orang-orang yang ada di sana. Saat ku lihat air
semakin tinggi, hampir menenggelamkan masjid, aku terus berdoa dalam
ketakutanku yang semakin menggila ini. Ya Allah, aku memohon perlindungan-Mu!
Allahu Akbar!
Untunglah, peristiwa ini tidak berlangsung
lama. Sekitar 15 menit kemudian, air mulai surut. Saat air sudah benar-benar
surut, kami semua yang selamat segera naik ke lantai dua masjid. Di sana, aku
bertemu dengan Om dan kakak sepupuku. Kami pun saling berpelukan. Entahlah,
lega dan sedih bercampur jadi satu. Apalagi setelah mendengar cerita ibu-ibu
yang menangis kehilangan anaknya. Aku? Aku! Aku kehilangan kedua orang tuaku!
Aku tidak tahu apakah mereka selamat atau tidak! Aku harus apa?! Berharap
mereka selamat, hanya itulah yang bisa aku lakukan.
Sekitar pukul 10.40 ada yang datang ke
masjid. Ternyata itu Bang Syaiful, kakak sepupuku, yang selamat karena sedang
ada acara di luar kampung. Katanya, dia melihat air raksasa itu dari sana.
Setelah air surut dia langsung ke sini, ingin memastikan bahwa kami semua
selamat.
Kami berbagi cerita hanya sebentar saja.
Bang Syaiful harus segera mengabari keluarga yang ada di Indrapuri. Aku menebak
nenek pasti terkejut mendengarnya.
Saat Maghrib datang, Bang Syaiful datang
lagi bersama keluarga yang lain. Aku langsung diantar ke Indrapuri oleh Paman,
adik ipar Ibu. Yang lain segera melakukan pencarian terhadap keluarga kami yang
hilang. Awalnya aku ingin ikut tetapi mereka tidak membolehkan. Aku masih kecil
katanya. Padahal kan aku juga ingin mencari Ayah dan Ibu…
27 Desember 2004, Indrapuri, Indonesia
Setelah aku sarapan, Bang Syaiful dan yang
lain pulang dengan muka lelah. Aku langsung menyambut mereka, berharap kabar
baik lah yang akan ku dengar.
“Gimana Bang? Ayah dan Ibu sudah
ditemukan?” Aku bertanya dengan harap-harap cemas.
Saat ku lihat Bang Syaiful menggeleng, aku
merasakan gempa dan air raksasa itu kembali datang dan menghanyutkanku. Aku
menangis. Mengingat pelukan Ibu kemarin, menyadarkanku bahwa itulah pelukan
terakhir beliau untukku. Kasih beliau di pelukan itu ku rasakan sangat besar.
Kini aku merasa sangat kehilangan.
***
Setelah peristiwa itu, aku menjalani
kehidupan normal seperti anak lainnya. Aku tidak mau terlihat bersedih. Aku
ingin bangkit dari keterpurukan pahit itu. Aku harus menunjukkan bahwa aku sama
dengan anak-anak lain yang kedua orang tuanya masih lengkap. Aku terus berjuang
semampuku. Berbagai prestasi pun mulai ku raih. Dan kini, mungkin ini adalah
salah satu langkah hebat yang diberikan-Nya, aku bisa berada di sini, di Jepang
ini, di universitas ini, bertemu dengan banyak orang dari berbagai Negara.
Atau, mungkin ini adalah salah satu hasil dari perjuangan kerasku selama ini?
Entahlah, entah ini hasil atau suatu langkah yang akan membawaku ke langkah
selanjutnya untuk berhasil, yang pasti aku tahu perjuanganku belum selesai. Dan
teman, ingatlah pesanku ini, saat engkau merasa kehidupan telah berbuat tidak
adil, percayalah Tuhan tahu yang terbaik. (Terinspirasi dari kisah nyata
seorang teman, Chairul Akmal, yang motivasinya begitu hebat, yang ketegarannya
begitu kuat)
*****
Ibu itu Luar Biasa
Oleh Catur Budi K.
Sekitar satu jam yang lalu, saya melihat
ketulusan dan kejujuran yang benar - benar tulus.
Alkisah, seorang ibu -ibu
entah dia hanya bisu ataukah ditambah gila- sosoknya mungkin tidak indah
mempesona dengan hiasan wajah penuh rupa. Di suatu warung tiba-tiba dia datang mendekat dengan
bahsa tubuh penuh makna. Entah apa maksudnya. Saya yang saat itu berada di warung
tersebut diam dengan
penuh tanda tanya. Kemudian ibu itu pergi keluar dan kembali dengan beberapa
lembar uang. Yah, benar dia menemukannya dan kemudian dengan
ketulusannya dia berikan uang itu kepada sang pemilik toko.
Barangkali Si Ibu merasa uang itu akan jauh lebih berguna jika
berada di
tangan si pemilik toko itu. Ibu itupun ternyata juga datang untuk
membeli sebungkus makanan dan membayar dengan uang yang dimilikinya. Dan
satu hal
yang menarik lagi, ketika saya telah menyelesaikan keperluan saya di
warung itu dan hendak keluar kami pun berpapasan. Saya
melihatnya dengan jelas dari luar toko, dia memberikan uang seribu koin.
Saya tidak paham betul apa maksudnya, sepertinya dia ingin
mengembalikan kelebihan
kembalian yang didapatinya. Luar biasa. (Dengan sedikit perubahan tanpa mengubah esensi cerita)
Saturday, March 9, 2013
LIHATLAH DIA! GUBERNUR "KULI" !!!
Pada masa pemerintahan Umar bin Khaththab, Salman Al Farisi mendaftarkan diri untuk ikut dalam ekspedisi militer ke Persia. Ia ingin membebaskan bangsanya dari genggaman kelaliman Kisra, Imperium Persia yang mencekik rakyatnya dengan penindasan dan kekejaman. Untuk membangun istana Kisra saja, ribuan rakyat jelata terpaksa dikorbankan, tidak setitik pun rasa iba terselip di hati sang raja. Di bawah pimpinan Panglima Saad bin Abu Waqqash, tentara muslim akhirnya berhasil menduduki Persia, dan menuntun rakyatnya dengan bijaksana menuju kedamaian Islam. Di Qadisiyah, keberanian dan keperwiraan Salman Al Farisi sungguh mengagumkan sehingga kawan dan lawan menaruh menaruh hormat padanya. Tapi bukan itu yang membuat Salman meneteskan air mata keharuan pada waktu ia menerima kedatangan kurir Khalifah dari Madinah. Ia merasa jasanya belum seberapa besar, namun Khalifah telah dengan teguh hati mengeluarkan keputusan bahwa Salman diangkat menjadi amir di negeri Madain. Umar secara bijak telah mengangkat seorang amir yang berasal dari suku dan daerah setempat. Oleh sebab itu, ia tidak ingin mengecewakan pimpinan yang memilihnya, lebih-lebih ia tidak ingin dimurkai Allah karena tidak menunaikan kewajibannya secara bertanggung jawab.
Maka Salman pun berbaur di tengah masyarakat tanpa menampilkan diri sebagai seorang amir. Sehingga banyak yang tidak tahu bahwa yang sedang keluar masuk pasar, yang duduk-duduk di kedai, bercengkrama dengan para kuli itu adalah sang gubernur. Pada suatu siang yang terik, seorang pedagang dari Syam sedang kerepotan mengurus barang bawaannya. Tiba-tiba ia melihat seorang pria bertubuh kekar dengan pakaian lusuh. Orang itu segera dipanggilnya; “Hai, kuli, kemari! Bawakan barang ini ke kedai di seberang jalan itu.” Tanpa membantah sedikit pun, dengan patuh pria berpakaian lusuh itu mengangkut bungkusan berat dan besar tersebut ke kedai yang dituju. Saat sedang menyeberang jalan, seseorang mengenali kuli tadi. Ia segera menyapa dengan hormat, “Wahai Amir. Biarlah saya yang mengangkatnya.” Si pedagang terperanjat seraya bertanya pada orang itu, “Siapa dia? Mengapa seorang kuli kau panggil Amir?”. Ia menjawab, “Tidak tahukah Anda, kalau orang itu adalah gubernur kami?”. Dengan tubuh lemas seraya membungkuk-bungkuk ia memohon maaf pada ‘kuli upahannya’ yang ternyata adalah Salman Al Farisi. “Ampunilah saya, Tuan. Sungguh saya tidak tahu bahwa Tuan adalah amir negeri Madain." ucap si pedagang. “Letakkanlah barang itu, Tuan. Biarlah saya yang mengangkutnya sendiri.” Salman menggeleng, “Tidak, pekerjaan ini sudah aku sanggupi sejak awal, dan aku akan membawanya sampai ke kedai yang kau maksudkan.” Setelah sekujur badannya penuh dengan keringat, Salman menaruh barang bawaannya di kedai itu, ia lantas berkata, “Kerja ini tidak ada hubungannya dengan jabatanku. Aku sudah berjanji mengangkat barang ini kemari. Maka aku wajib melaksanakannya hingga selesai.
Bukankah merupakan kewajiban setiap umat Islam untuk meringankan beban saudaranya?” Pedagang itu hanya menggeleng. Ia tidak mengerti bagaimana seorang berpangkat tinggi bersedia disuruh sebagai kuli. Mengapa tidak ada pengawal atau tanda-tanda kebesaran yang menunjukkan kalau ia seorang gubernur? Ia barangkali belum tahu, begitulah seharusnya sikap seorang pemimpin menurut ajaran Islam. Tidak bersombong diri dengan kedudukannya, namun ia dituntut merendah di depan rakyatnya. Karena sejatinya, menjadi pemimpin adalah pelayan. Ya seperti, Salman Al Farisi, Gubernur Zuhud yang menjadi kuli di Pasar.
[Sumber: Kisah Orang-orang Sabar, dengan editing tanpa mengurangi esensi]
Pada masa pemerintahan Umar bin Khaththab, Salman Al Farisi mendaftarkan diri untuk ikut dalam ekspedisi militer ke Persia. Ia ingin membebaskan bangsanya dari genggaman kelaliman Kisra, Imperium Persia yang mencekik rakyatnya dengan penindasan dan kekejaman. Untuk membangun istana Kisra saja, ribuan rakyat jelata terpaksa dikorbankan, tidak setitik pun rasa iba terselip di hati sang raja. Di bawah pimpinan Panglima Saad bin Abu Waqqash, tentara muslim akhirnya berhasil menduduki Persia, dan menuntun rakyatnya dengan bijaksana menuju kedamaian Islam. Di Qadisiyah, keberanian dan keperwiraan Salman Al Farisi sungguh mengagumkan sehingga kawan dan lawan menaruh menaruh hormat padanya. Tapi bukan itu yang membuat Salman meneteskan air mata keharuan pada waktu ia menerima kedatangan kurir Khalifah dari Madinah. Ia merasa jasanya belum seberapa besar, namun Khalifah telah dengan teguh hati mengeluarkan keputusan bahwa Salman diangkat menjadi amir di negeri Madain. Umar secara bijak telah mengangkat seorang amir yang berasal dari suku dan daerah setempat. Oleh sebab itu, ia tidak ingin mengecewakan pimpinan yang memilihnya, lebih-lebih ia tidak ingin dimurkai Allah karena tidak menunaikan kewajibannya secara bertanggung jawab.
Maka Salman pun berbaur di tengah masyarakat tanpa menampilkan diri sebagai seorang amir. Sehingga banyak yang tidak tahu bahwa yang sedang keluar masuk pasar, yang duduk-duduk di kedai, bercengkrama dengan para kuli itu adalah sang gubernur. Pada suatu siang yang terik, seorang pedagang dari Syam sedang kerepotan mengurus barang bawaannya. Tiba-tiba ia melihat seorang pria bertubuh kekar dengan pakaian lusuh. Orang itu segera dipanggilnya; “Hai, kuli, kemari! Bawakan barang ini ke kedai di seberang jalan itu.” Tanpa membantah sedikit pun, dengan patuh pria berpakaian lusuh itu mengangkut bungkusan berat dan besar tersebut ke kedai yang dituju. Saat sedang menyeberang jalan, seseorang mengenali kuli tadi. Ia segera menyapa dengan hormat, “Wahai Amir. Biarlah saya yang mengangkatnya.” Si pedagang terperanjat seraya bertanya pada orang itu, “Siapa dia? Mengapa seorang kuli kau panggil Amir?”. Ia menjawab, “Tidak tahukah Anda, kalau orang itu adalah gubernur kami?”. Dengan tubuh lemas seraya membungkuk-bungkuk ia memohon maaf pada ‘kuli upahannya’ yang ternyata adalah Salman Al Farisi. “Ampunilah saya, Tuan. Sungguh saya tidak tahu bahwa Tuan adalah amir negeri Madain." ucap si pedagang. “Letakkanlah barang itu, Tuan. Biarlah saya yang mengangkutnya sendiri.” Salman menggeleng, “Tidak, pekerjaan ini sudah aku sanggupi sejak awal, dan aku akan membawanya sampai ke kedai yang kau maksudkan.” Setelah sekujur badannya penuh dengan keringat, Salman menaruh barang bawaannya di kedai itu, ia lantas berkata, “Kerja ini tidak ada hubungannya dengan jabatanku. Aku sudah berjanji mengangkat barang ini kemari. Maka aku wajib melaksanakannya hingga selesai.
Bukankah merupakan kewajiban setiap umat Islam untuk meringankan beban saudaranya?” Pedagang itu hanya menggeleng. Ia tidak mengerti bagaimana seorang berpangkat tinggi bersedia disuruh sebagai kuli. Mengapa tidak ada pengawal atau tanda-tanda kebesaran yang menunjukkan kalau ia seorang gubernur? Ia barangkali belum tahu, begitulah seharusnya sikap seorang pemimpin menurut ajaran Islam. Tidak bersombong diri dengan kedudukannya, namun ia dituntut merendah di depan rakyatnya. Karena sejatinya, menjadi pemimpin adalah pelayan. Ya seperti, Salman Al Farisi, Gubernur Zuhud yang menjadi kuli di Pasar.
[Sumber: Kisah Orang-orang Sabar, dengan editing tanpa mengurangi esensi]
Jaman sekarang banyak para profesional atau kaum cendekiawan berlatarbelakang “ilmu-ilmu umum”, senang dan bangga memelihara statusnya sebagai “orang awam” dalam agama. Meskipun sudah lulus kuliah berpuluh-puluh tahun, dan menjadi orang muslim sejak lahir, mereka senang mengucapkan, “saya ini awam dalam agama.” Jadilah ia awam seumur hidupnya dalam bidang-bidang ilmu agama, tetapi sangat pakar dalam ilmu-ilmu tertentu di bidang profesinya.
Fenomena semacam ini sangat lazim kita jumpai. Mereka menjadi awam dalam ilmu-ilmu agama bukan karena otaknya bodoh, atau tidak punya waktu untuk belajar, tetapi lebih karena mereka tidak memahami konsepsi ilmu dalam Islam. Mereka tidak paham, mana ilmu yang fardhu 'ain, dan mana ilmu yang fardhu kifayah.
Padahal, konsep ini telah dijelaskan dengan gamblang oleh Imam al-Ghazali melalui kitabnya yang terkenal “Ihya’ Ulumuddin”.
Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan masalah aqidah dan ibadah wajib, misalnya, termasuk ilmu yang fardhu ‘ain. Secara ringkas, ilmu yang fardhu ‘ain adalah ilmu yang diperlukan untuk mengamalkan kewajiban. Untuk orang-orang yang dikarunai akal yang cerdas, maka beban dan kewajiban untuk mengkaji keilmuan itu tentu lebih berat. Mereka seharusnya lebih mendalami ilmu-ilmu yang fardhu ‘ain, lebih daripada orang lain yang kurang kadar kecerdasan akalnya.
Bagi kaum cendekiawan atau ulama, maka tanggung jawab mereka juga lebih berat. Disamping wajib mengetahui yang benar, mereka juga harus mengetahui ilmu tentang hal-hal yang bathil yang tersebar di tengah masyarakat. Sebab, kata al-Ghazali, orang yang tidak mengetahui kebathilan, ia akan terperosok di dalamnya.
Para ulama saat ini, misalnya, wajib memahami dengan mendalam masalah sekularisme, liberalisme, pluralisme, marxisme, dan sebagainya. Paham-paham inilah yang sekarang menguasai dunia dan mencengkeram benak kaum muslimin.
Jika para ulama tidak menguasai masalah-masalah pemikiran kontemporer, maka mereka akan menjadi “penonton yang baik” di satu arena “pertarungan pemikiran” yang dahsyat.
Mencari ilmu, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah saw, adalah wajib bagi setiap Muslim. Artinya, setiap hari, kaum Muslim seharusnya sibuk dalam aktivitas keilmuan. Tidak ada hari tanpa mengaji dan menambah ilmu, terutama ilmu-ilmu yang fardhu 'ain, maupun ilmu yang fardhu kifayah.
Imam al-Ghazali mencontohkan, ilmu fardhu kifayah seperti ilmu kedokteran dan ilmu berhitung. Ilmu jenis ini diperkukan untuk tegaknya sistem masyarakat. Fardhu kifayah artinya, jika sebagian kaum Muslimin sudah menguasai ilmu itu, dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan masyarakat (kifayah), maka gugurlah kewajiban itu dari sebagian kaum muslimin lainnya.
Tidak perlu semua anggota masyarakat menjadi dokter, dan tidak perlu semuanya pakar dalam
matematika, teknik elektro, teknik komputer, teknik pesawat, dan sebagainya. Cukup sebagian kaum Muslimin yang menguasai bidang ilmu fardhu kifayah.
Selain kesalahan dalam memahami konsepsi ilmu, masalah mendasar lainnya dalam masalah ilmu dan pendidikan adalah soal niat mencari ilmu. Imam al-Ghazali sudah mengingatkan dengan bahasa yang lugas dalam mukaddimah kitab “Bidayatul Hidayah”.
Kata beliau, jika seseorang mencari ilmu dengan maksud untuk sekedar hebat-hebatan, mencari pujian, atau untuk mengumpulkan harta benda, maka dia telah berjalan untuk menghancurkan agamanya, merusak dirinya sendiri, dan telah menjual akhirat dengan dunia. (Fa-anta saa’in ilaa hadmi diinika wa ihlaaki nafsika, wa bay’i aakhiratika bi dunyaaka).
Bagi Imam al-Ghazali, ilmu adalah sesuatu yang sangat mulia, dan sebab itu terlalu murah jika ilmu ditujukan untuk hal-hal yang sifatnya duniawi. Ilmu haruslah ditujukan untuk ibadah dan mencari hidayah Allah.
Siapapun yang mencari ilmu dengan niat yang mulia seperti itu, kata beliau, maka para Malaikat akan melindungi pencari ilmu itu dengan membentangkan sayapnya; dan ikan-ikan di laut mendoakan si pencari ilmu yang ikhlas dalam langkahnya.
Jika saat ini kita mengalami krisis ulama, dan pesantren serta kampus-kampus Islam tidak melahirkan ulama-ulama yang tangguh, maka kita perlu melakukan introspeksi ke dalam, apakah konsepsi ilmu dan niat dalam mencari ilmu sudah benar?
Banyak jurusan dalam ilmu-ilmu agama dibentuk, dengan tujuan untuk mencari lapangan kerja. Mereka yang lulus, banyak yang kemudian tidak tertarik untuk mengembangkan ilmunya lebih jauh, atau mengamalkan ilmunya untuk berdakwah, tetapi justru meniatkan ilmunya untuk mencari harta benda dunia, sebagaimana sudah diperingatkan oleh al-Ghazali
Awam Mereka biasanya hanya suka mendengar ustad ceramah, seminggu sekali, atau sebulan sekali, atau melalui media radio/telivisi, dengan tradisi “jiping” (ngaji kuping).
Belajar agama dianggap sambilan, atau hanya sekedar mengisi waktu, dengan tenaga dan pikiran sisa. Mereka sanggup belajar bahasa Inggris, membayar mahal, dan bersungguh-sungguh mencurahkan pikirannya, untuk menguasai bahasa itu. Tetapi, ketika berhadapan dengan bahasa Arab, mereka merasa tidak berkepentingan sama sekali.
Padahal, Imam Syafii menjelaskan dalam Kitab Risalah, bahwa mempalajari bahasa Arab adalah fardhu 'ain, dan setiap orang Muslim wajib menguasai bahasa Arab, semaksimal mungkin, sesuai dengan kemampuannya. Artinya, adalah berdosa, jika seseorang tidak bersungguh-sungguh belajar bahasa Arab. Padahal, jika orang-orang cerdas mau bersungguh-sungguh menggunakan akalnya untuk menguasai bahasa Arab, mereka insyaallah bisa menguasainya, sebagaimana mereka mampu memguasai bahasa-bahasa asing lainnya.
Subscribe to:
Posts (Atom)