• Mau tau lebih banyak tentang ilmu-ilmu agama plus tambah kenalan,.... Berkunjung yuk! "Berbagi Ilmu, Merajut Ukhuwah"

  • Berbagi segala hal seputar akademik Mahasiswa FTI...Merangkai ilmu tak kenal lelah

  • Hidup buat diri sendiri...?! Gak lah yauw....Mari peduli sesama, Karena Kita Keluarga

  • Sejukkan diri dengan membaca buku, AlQuran dan berbagai hiburan Islami

  • Yuk merajut jalan ke surga rame-rame, Ga mau kan sendirian?? Yuk,share artikel dan info nya ya... Karena Kita Keluarga

  • Ada yang bisa kami bantu ? Segera hubungi kami.... Follow @GAMIFTI_2012 dan Join Group FB GAMIFTI 2012

Tuesday, February 25, 2014

Mengapa Enggan Tersenyum?

Posted by Unknown On 3:06 AM No comments
 Ya, kenapa harus malu untuk tersenyum? Setiap orang pasti senang apabila disambut dengan senyuman hangat. Mereka yang sering menabur senyuman kepada orang lain kerapkali dianggap sebagai orang yang ramah, supel, ataupun periang. Meski ada juga beberapa yang  dianggap aneh, yang notabene terjadi karena ia tersenyum dalam situasi yang kurang tepat atau juga tidak pada tempatnya. Misalnya saja tersenyum saat melihat rumah orang lain kebakaran. Tentu saja  itu aneh dan juga menepiskan nilai – nilai kemanusiaan. Siapa toh yang tega tersenyum penuh kemenangan melihat orang lain mengalami kerugian? Jahat aja, dan mungkin patut dicurigai.

Tentu saja konteks senyum di sini bukanlah senyum sinis, ataupun senyuman gelap lainnya, melainkan senyum penuh ketulusan yang bertujuan mencerahkan suasana, menyalurkan keramahtamahan dan kebaikan. Wajah yang tersenyum mencerminkan sebuah pribadi yang rendah hati dan  tidak angkuh terhadap orang lain. Bukankah terdapat larangan bersikap angkuh kepada orang lain ketika bertemu, di dalam Al-Qur’an?

Tuesday, April 16, 2013

Hidup, Hukuman, Mati...

Posted by Unknown On 3:19 AM No comments

Suatu hari di penghujung malam. Ingatlah sahabat akan kepastian yang akan mendatangi setiap jiwa. Sesaat sebelum engkau memejamkan mata, heninglah sejenak dan ingatlah tentang kehidupan. Renungkanlah setiap perbuatan. Sudahkah ia bermakna? Sudahkah ia menjadi sebuah warna bagi kehidupan? Bukalah mata hati dan jujurlah pada dirimu. Sudah pantaskah diri ini? Sudahkah kita tinggalkan jejak terbaik bagi kehidupan manusia? Ataukah hanya menjadi debu di atas batu yang hilang tertiup angin?

Rasulullah saw. Pernah bersabda,”Orang yang cerdas (bijak) itu adalah orang yang selalu mengingat kematian. Wahai manusia.. sudah lupakah kita dengan kepastian ini? Dunia ini adalah kumpulan ketidakpastian, namun ada satu yang pasti bahwa kita akan mati. Kematian adalah sebuah gerbang menuju kehidupan selanjutnya.

Teringat sebuah kisah dari sebuah buku. Ada seorang raja yang bijaksana, memimpin negeri dengan jujur dan adil. Sang raja meskipun memiliki tahta yang tinggi, ia hidup layaknya rakyat biasa, makan sebagaimana halnya rakyat biasa, dan tidak menghabiskan waktuya hanya dengan berpesta. Sang raja ini memiliki seorang adik yang memiliki kebiasaan yang jauh dari sang kakak. Adik raja ini terbiasa hidup berfoya-foya, terbiasa lupa diri, meskipun bukan raja namun bertindak seolah raja,  hidup tanpa peduli dengan kehidupan yang seharusnya dijalani, stress berat saar masalah menghadang, dan berpesta-pora di setiap hari jika sebuah problem berhasil dilewati.

Melihat kelakuan sang adik, Raja yang bijak pun memiliki rencana untuk memberikan pelajaran kepada adiknya ini. Ia merancang sebuah rencana bersama dengan menteri-menterinya untuk “menjebak” sang adik. Skenario pun dimulai.

Sang kakak mandi di pemandian umum, kemudian ia menaruh jubah dan mahkotanya begitu saja. Sang adik sedang berjalan-jalan dengan para menteri. Diatur sedemikian rupa sehingga sang adik melintasi pemandian umum dan melihat mahkota serta jubah raja yang tergeletak begitu saja. Melihat benda-benda itu sang adik pun menjadi tergoda untuk memakainya. Para menteri berkata pada sang adik,”Wahai Pangeran, cobalah mahkota dan jubah itu. Siapa tahu Anda akan merasakan bagaimana rasanya menjadi raja suatu saat nanti.” Namun, meskipun sang adik tergoda sang adik tidak mau memakainya. Para menteri yang sudah berskenario terus memaksa dan memuji-muji sang adik sampai akhirnya ia mengenakan mahkota dan jubah itu. Sang kakak pun datang dan memergoki adiknya menggunakan mahkota dan jubah kerajaannya. Sang raja  berkata,”Wahai adikku, apa yang kau lakukan? Kenapa kamu menggunakan jubah dan mahkotaku? Apakah engkau ingin memberontak kepadaku?”. Dengan ketakutan sang adik menjawab,”Tidak, wahai raja.. aku tidak bermaksud demikian. Aku hanya....”. “Cukup! Aku tak mau lagi mendengar alasan lagi darimu. Kamu harus mendapat hukuman. Berikan ia hukuman mati di 7 hari mendatang karena berencana  memberontak padaku!” ucap sang raja. “Tapi, Raja.. tolong ampuni aku. Aku tak akan lagi mengulangi kesalahanku.” sang raja berkata,”Tidak bisa! Hukuman harus dilakukan. Tapi, baiklah agar engkau bisa mati dengan bahagia dan karena engkau sudah terlanjur memakai mahkota kerajaan itu, dalam 7 hari ini kamu boleh bertindak sebagai raja. Kamu boleh melakukan apapun, makan sepuasnya, berpesta sepuasnya, kamu bisa memiliki selir-selirku, dan segala kekuasaan raja.”

7 hari pun berjalan. Saat hari eksekusi tiba. Sang adik yang terlihat begitu frustrasi dihadapkan pada sang raja. “Adikku, selama 7 hari kujadikan engkau seorang raja, bagaimana perasaanmu? Apa yang telah kau lakukan? Apakah kau menikmatinya?” Sang adik menjawab,”Bagaimana mungkin aku bisa menikmati itu semua sedangkan setiap waktu dalam pikiranku aku selalu teringat bahwa kematian itu akan datang padaku. Bagaimana aku bisa bersenang-senang sedangkan aku tahu bahwa hukuman mati itu akan datang”

Sang raja pun tersenyum karena sang adik telah mengerti dengan pelajaran yang telah direncanakannya, akhirnya sang adik pun dibebaskan dan sang adik hidup dengan lebih baik dari sebelumnya.

Kehidupan adalah sebuah hukuman mati bagi kita. Kita tak tahu kapan hukuman itu terjadi tapi hukuman itu pasti datang. Bisa 3 hari lagi, 3 pekan lagi, 3 tahun lagi. Kita tak pernah tahu. Kematian memberikan pelajaran pada kita tentang apa arti hidup, apakah untuk hidup bergelimang kekayaan? Hidup dalam kemewahan? Atau hidup dalam kebahagiaan yang hakiki?

Kematian mengingatkan pada kita bahwa kita ini sedang dalam pertunjukan amal. Sehebat apakah kita memainkannya sehingga saat kita meninggal kita telah memainkan orkestra kehidupan kita dengan sebaik-baiknya dengan harmonisasi yang luar biasa.

Kematian memberikan pelajaran pada kita bahwa kehidupan ini adalah sebuah “masa yang akan berlalu”. Saat-saat bahagia di kehidupan ini tak akan berlangsung lama sehingga kita akan tetap teguh dalam apa yang benar dalam menjalani kehidupan ini. Begitu juga dengan saat-saat sedih, ia pun akan berlalu sehingga kita menjalaninya dengan penuh semangat dan motivasi.

Terakhir, kematian memberikan pelajaran bagi kita bahwa hidup ini ga cuma tentang kerja jadi apa nanti, jabatannya apa nanti. Hidup ini adalah tentang bagaimana kamu memberikan yang terbaik dalam setiap kesempatan. Hidup ga Cuma tentang berapa Ip kamu , tapi juga tentang sebermanfaat apa ilmu itu?  kehidupan ini sementara, sehingga karena sifatnya yang sementara itulah setiap sisi dalam kehidupan ini harus dimaksimalkan. Ia tidak berbicara tentang seberapa lelah kamu dalam mendapatkan hasil. Tapi seberapa lelah kamu belajar untuk lebih baik di setiap hari kamu bangun tidur.

Sumber”
Al Hadits
Buku “Cacing dan Kotoran Kesayangannya”

Penulis: Ilham Muhammad

Sabar adalah salah satu sifat yang mulia. Semua orang sudah tahu hal itu. Sabar merupakan perilaku yang terpuji. Penyataan ini pun telah jadi kebenaran umum. Sabar itu sifat yang baik. Hal ini memang begitu benar adanya. Ya, sabar, sifat yang dimiliki oleh setiap manusia di dunia. Benarkah setiap orang memilikinya? Nah, kalau pernyataan terakhir ini apakah memang sudah teruji kevalidannya? Pertanyaannya apakah kita sudah sabar???

Sunday, March 24, 2013

Memaknai Liburan dan Ramadhan

Posted by Unknown On 1:24 PM No comments
Memaknai Liburan dan Ramadhan    

    Ramdahan dan liburan adalah dua waktu yang sangat bermakna. Biasanya, kehadiran keduanya dinantikan oleh banyak orang setiap tahunnya. Ada banyak hal yang dapat kita lakukan dan temukan padanya yang sulit untuk kita dapatkan pada waktu selain keduanya. Buka dan sahur bersama kedua orang tua, pergi ke masjid bersama-sama, merasakan bagaimana 'asyiknya' menunggu berbuka dll.. Sedangkan ketika liburan tiba, kita bisa bepergian bersama keluarga, atau justru di rumah saja karena lelah beraktifitas, bahkan mengerjakan sebuah 'proyek' bisnis dan hal psotif pengisi liburan yang lain.

     Sekarang, bagaimana kalau Ramadhan dan liburan digabungkan? :-)
    Bagaikan dua makanan manis yang berbeda. Sama sifat manisnya tetapi berbeda rasanya. Jika digabungkan -misalnya dengan dimakan bersama- pastilah semakin  manis dan semakin banyak rasanya. Setuju? Sama halnya dengan Ramadhan dan liburan, sama-sama sangat bermakna tetapi berbeda. Jika digabungkan, akan semakin bermakna dan banyak rasa.

    Bicara soal Ramadhan dan liburan, di Kampus ITB, insyaaallah tahun 2013 ini Ramdhan datang pada waktu liburan. Melihat kalender, Ramadhan akan hadir sekitar awal pekan kedua Bulan Juli sedangkan mahasiswa ITB mulai liburan pada 21 Mei sampai tiga bulan setelahnya. Biasanya setiap mahasiswa sudah memiliki rencana dengan liburannya itu. Ada yang KP, ada yang mengikuti suatu kepanitiaan kegiatan, ada yang ingin pergi menjelajah sepuas-puasnya. So, what?

     Masjid Salman menawarkan sebuah alternatif pilihan untuk teman-teman, nih. Insyaallah, melanjutkan keberhasilan pada waktu-waktu sebelumnya, tahun ini kembali dibentuk kepanitaan Ramdahan. Namanya adalah Panitia Pelaksana Program Ramadhan 1434H (P3R 1434H). Kepanitaan ini -sebagaimana P3R sebelum-sebelumnya- memiliki  visi untuk mengelola segala kegiatan pada Bulan Ramadhan di Masjid Salman ITB dan sekitarnya agar Ramdahan menjadi semakin bermakna dan kaya rasa. Ada banyak kegiatan yang bisa dilakukan dalam kepanitaan P3R. Merasakan indahnya  berbagi kebahagiaan di suatu desa, bertemu dan berinteraksi dengan figur atau tokoh terkenal, menyaksikan pertunjukan bermacam kesenian, bahkan melakukan aksi kampanye lingkungan sebagai suatu wujud nyata kepedulian. Dan masih banyak hal lain. :-)

     Masyaallah, sepertinya kegiatan-kegiatan P3R  sangat luar biasa dan bermakna. Rasanya pun tidak sayang jika harus  mengalokasikan sebagian waktu liburan untuk menjadi bagiannya. Berusaha memberikan manfat bagi orang lain di saat kita sendiri sedang berjuang untuk beribadah dan mencari berkah Ramadhan, Selain insyaallah memperoleh balasan dari-Nya -karena ketulusan niat memberikan manfaat untuk sesama-, kita juga dapat memperluas pergaulan kita dan mempererat sillaturrahim, menambah pengalaman, menambah ilmu dan pengetahuan atau mungkin -bagi yang sudah siap- mendaapat pasangan. Ups...

    So, isilah liburan dan Ramadhan dengan hal-hal yang bermanfaat dan bermakna. Ada banyak pilihannya, salah satunya adalah P3R 1434H. Bagi yang kurang meminatinya, rencanakanlah dengan sebaik-baiknya. Manfaatkanlah dengan sebaik baiknya, karena waktu tidak akan kembali. Dan ada suatu masa yang telah ditetapkan, baik untuk seluruh semesta alam maupun setiap insan untuk datang dan kembali kepada-Nya. Dan kita tidak pernah tahu, kapan waktu kita akan  tiba. Masih jauhkah?

(Oleh Gamifti 2012)

Sepenggal Kisah di Desemberku

Posted by Unknown On 12:12 PM No comments


Sepenggal Kisah di Desemberku
Oleh Kasmawati (16712213)

1 Desember 2012, Sendai, Jepang
                Give me the ball, Mal, here, here!” Richard, temanku di kelas internasional Marine Biology, Tohoku University, melambaikan tangan meminta operan bolaku. Aku bingung, aku sedang terjepit. Dikelilingi dua lawan berbadan besar seperti Steven dan Daniel membuatku kewalahan. Ya sudahlah, ku tendang saja bolanya ke sembarang arah. Ku lihat Sang Jun langsung mengambil bola itu dan menendangnya ke gawang timku. Priiiit!! Tepat setelah itu peluit wasit berbunyi menandakan pertandingan usai. Skor akhir 3-2, timku kalah. Hhhh…
                Aku berjalan ke tepi lapangan. Richard mengikutiku dan duduk di sampingku.
                You looked so confuse today. What’s wrong?” Tanyanya.
                Aku diam. Menatap langit Jepang yang mulai menurunkan saljunya. Dingin yang ku rasakan sekarang lebih dingin dari yang seharusnya. Apa yang harus ku katakan? Aku tak mau terlihat cengeng di depan teman-temanku. Aku adalah lelaki!
                Karena aku diam saja, Richard mengulang pertanyaannya, mengira aku tadi tidak mendengar karena sedang kelelahan. Aku tersenyum pahit.
                Nothing, I’m just tired and sleepy because of so many lecture tasks that should be done last night,” Aku berbohong.
                Richard mengangguk-angguk. “Oh… I suppose you have problems.”
                Ku rasakan butiran salju mengenai rambut dan baju hangatku. Aku merasa kesepian di keramaian ini. Semua ini berawal saat aku menyadari waktu yang terus berputar mengembalikanku ke bulan yang memiliki kisah tragis di kehidupanku, Desember…
26 Desember 2004, Aceh, Indonesia
                Pagi ini aku pergi ke rumah Bibi. Aku ingin bermain bersama sepupuku, Bahri, sambil menonton kartun di TV. Harusnya sih aku ikut mengaji di surau, tetapi aku sedang malas. Jiwa kanak-kanakku mengizinkanku untuk ini.
                “Bahri, Akmal, ada susu nih. Ayo diminum, jangan nonton kartun terus,” Panggil Bibi.
                “Iya,” Kami berdua menyahut tanpa memalingkan muka dari TV. Kartunnya sedang seru-serunya sih…
                Tiba-tiba aku merasakan tubuhku diguncang-guncang oleh bumi. Pintu dan jendela bergoyang. Gempa! Kami semua panik. Bibi langsung menggamit tanganku dan Bahri dan berlari keluar rumah. Di luar, ternyata sudah banyak orang yang bertujuan sama dengan kami, berusaha menyelamatkan diri dari kemungkinan rumah roboh karena gempa. Namun tidak beberapa lama kemudian gempanya berhenti. Semua orang terlihat lega dan mulai memasuki rumah masing-masing.
                Ayah menjemputku. Beliau khawatir aku ketakutan karena tidak bersama Ibu. Sampai di rumah Ibu memelukku. Setelah yakin bahwa aku tidak apa-apa, Ibu tersenyum lalu menyuruhku menggosok gigi. Saat aku sedang menggosok gigi, gempa kembali mengguncang tubuh kecilku. Cepat-cepat aku berkumur-kumur menyelesaikan gosok gigiku. Kedua orang tuaku segera mengajakku keluar tepat saat gempa kembali berhenti.
                “Ya sudah, untuk berjaga-jaga kita keluar saja dari rumah. Mungkin akan ada gempa susulan yang lebih kuat,” Kata Ayah.
                Kami sekeluarga pun langsung keluar. Benar kata Ayah, ternyata ada gempa lagi. Dan kali ini, kami semua terkejut saat melihat air yang tinggi sekali ada di belakang kami. Lari, semua orang berlari. Ayah dan Ibu yang berada di belakangku terus berteriak menyuruhku lari sekuat tenaga. Kerusuhan yang terjadi sangat menggambarkan kepanikan kami.
                Air raksasa itu semakin mendekat. Ketika aku tak lagi mendengar suara teriakan kedua orang tuaku, aku menoleh ke belakang. Aku semakin panik. Mereka sudah tidak terlihat! Lari, lari, aku terus berlari. Lari, lari, aku terus berlari sambil dalam hatiku aku berdoa semoga kami selamat dari air raksasa itu. Aku takut.
                Ku lihat orang-orang berlari menuju masjid kampung kami. Karena aku sudah benar-benar tidak tahu mau apa dan harus bagaimana lagi, aku mengikuti mereka. Sesampainya di dalam masjid, aku melihat keluar, air semakin dekat. Aku berlari lagi keluar masjid, aku mengira mungkin aku masih bisa berlari jauh darinya. Tetapi aku semakin ketakutan, akhirnya aku kembali lagi ke masjid. Ternyata air sudah masuk ke masjid, aku segera naik ke atas mimbar, begitu juga orang-orang yang ada di sana. Saat ku lihat air semakin tinggi, hampir menenggelamkan masjid, aku terus berdoa dalam ketakutanku yang semakin menggila ini. Ya Allah, aku memohon perlindungan-Mu! Allahu Akbar!
Untunglah, peristiwa ini tidak berlangsung lama. Sekitar 15 menit kemudian, air mulai surut. Saat air sudah benar-benar surut, kami semua yang selamat segera naik ke lantai dua masjid. Di sana, aku bertemu dengan Om dan kakak sepupuku. Kami pun saling berpelukan. Entahlah, lega dan sedih bercampur jadi satu. Apalagi setelah mendengar cerita ibu-ibu yang menangis kehilangan anaknya. Aku? Aku! Aku kehilangan kedua orang tuaku! Aku tidak tahu apakah mereka selamat atau tidak! Aku harus apa?! Berharap mereka selamat, hanya itulah yang bisa aku lakukan.
Sekitar pukul 10.40 ada yang datang ke masjid. Ternyata itu Bang Syaiful, kakak sepupuku, yang selamat karena sedang ada acara di luar kampung. Katanya, dia melihat air raksasa itu dari sana. Setelah air surut dia langsung ke sini, ingin memastikan bahwa kami semua selamat.
Kami berbagi cerita hanya sebentar saja. Bang Syaiful harus segera mengabari keluarga yang ada di Indrapuri. Aku menebak nenek pasti terkejut mendengarnya.
Saat Maghrib datang, Bang Syaiful datang lagi bersama keluarga yang lain. Aku langsung diantar ke Indrapuri oleh Paman, adik ipar Ibu. Yang lain segera melakukan pencarian terhadap keluarga kami yang hilang. Awalnya aku ingin ikut tetapi mereka tidak membolehkan. Aku masih kecil katanya. Padahal kan aku juga ingin mencari Ayah dan Ibu…
27 Desember 2004, Indrapuri, Indonesia
Setelah aku sarapan, Bang Syaiful dan yang lain pulang dengan muka lelah. Aku langsung menyambut mereka, berharap kabar baik lah yang akan ku dengar.
“Gimana Bang? Ayah dan Ibu sudah ditemukan?” Aku bertanya dengan harap-harap cemas.
Saat ku lihat Bang Syaiful menggeleng, aku merasakan gempa dan air raksasa itu kembali datang dan menghanyutkanku. Aku menangis. Mengingat pelukan Ibu kemarin, menyadarkanku bahwa itulah pelukan terakhir beliau untukku. Kasih beliau di pelukan itu ku rasakan sangat besar. Kini aku merasa sangat kehilangan.
***
Setelah peristiwa itu, aku menjalani kehidupan normal seperti anak lainnya. Aku tidak mau terlihat bersedih. Aku ingin bangkit dari keterpurukan pahit itu. Aku harus menunjukkan bahwa aku sama dengan anak-anak lain yang kedua orang tuanya masih lengkap. Aku terus berjuang semampuku. Berbagai prestasi pun mulai ku raih. Dan kini, mungkin ini adalah salah satu langkah hebat yang diberikan-Nya, aku bisa berada di sini, di Jepang ini, di universitas ini, bertemu dengan banyak orang dari berbagai Negara. Atau, mungkin ini adalah salah satu hasil dari perjuangan kerasku selama ini? Entahlah, entah ini hasil atau suatu langkah yang akan membawaku ke langkah selanjutnya untuk berhasil, yang pasti aku tahu perjuanganku belum selesai. Dan teman, ingatlah pesanku ini, saat engkau merasa kehidupan telah berbuat tidak adil, percayalah Tuhan tahu yang terbaik. (Terinspirasi dari kisah nyata seorang teman, Chairul Akmal, yang motivasinya begitu hebat, yang ketegarannya begitu kuat)
*****

Ibu itu Luar Biasa
Oleh Catur Budi K.

     Sekitar satu jam yang lalu, saya melihat ketulusan dan kejujuran yang benar - benar tulus.
    Alkisah, seorang ibu -ibu entah dia hanya bisu ataukah ditambah gila- sosoknya mungkin tidak indah mempesona dengan hiasan wajah penuh rupa. Di suatu warung tiba-tiba dia datang mendekat dengan bahsa tubuh penuh makna. Entah apa maksudnya. Saya yang saat itu berada di warung tersebut diam dengan penuh tanda tanya. Kemudian ibu itu pergi keluar dan kembali dengan beberapa lembar uang. Yah, benar dia menemukannya dan kemudian dengan ketulusannya dia berikan uang itu kepada sang pemilik toko.
     Barangkali Si Ibu merasa uang itu akan jauh lebih berguna jika berada di tangan si pemilik toko itu. Ibu itupun ternyata juga datang untuk membeli sebungkus makanan dan membayar dengan uang yang dimilikinya. Dan satu hal yang menarik lagi, ketika saya telah menyelesaikan keperluan saya di warung itu dan hendak keluar kami pun berpapasan. Saya melihatnya dengan jelas dari luar toko, dia memberikan uang seribu koin. Saya tidak paham betul apa maksudnya, sepertinya dia ingin mengembalikan kelebihan kembalian yang didapatinya. Luar biasa. (Dengan sedikit perubahan tanpa mengubah esensi cerita)

Saturday, March 9, 2013

LIHATLAH DIA! GUBERNUR "KULI" !!!

Posted by Unknown On 5:15 PM No comments
LIHATLAH DIA! GUBERNUR "KULI" !!! 

     Pada masa pemerintahan Umar bin Khaththab, Salman Al Farisi mendaftarkan diri untuk ikut dalam ekspedisi militer ke Persia. Ia ingin membebaskan bangsanya dari genggaman kelaliman Kisra, Imperium Persia yang mencekik rakyatnya dengan penindasan dan kekejaman. Untuk membangun istana Kisra saja, ribuan rakyat jelata terpaksa dikorbankan, tidak setitik pun rasa iba terselip di hati sang raja. Di bawah pimpinan Panglima Saad bin Abu Waqqash, tentara muslim akhirnya berhasil menduduki Persia, dan menuntun rakyatnya dengan bijaksana menuju kedamaian Islam. Di Qadisiyah, keberanian dan keperwiraan Salman Al Farisi sungguh mengagumkan sehingga kawan dan lawan menaruh menaruh hormat padanya. Tapi bukan itu yang membuat Salman meneteskan air mata keharuan pada waktu ia menerima kedatangan kurir Khalifah dari Madinah. Ia merasa jasanya belum seberapa besar, namun Khalifah telah dengan teguh hati mengeluarkan keputusan bahwa Salman diangkat menjadi amir di negeri Madain. Umar secara bijak telah mengangkat seorang amir yang berasal dari suku dan daerah setempat. Oleh sebab itu, ia tidak ingin mengecewakan pimpinan yang memilihnya, lebih-lebih ia tidak ingin dimurkai Allah karena tidak menunaikan kewajibannya secara bertanggung jawab.

    Maka Salman pun berbaur di tengah masyarakat tanpa menampilkan diri sebagai seorang amir. Sehingga banyak yang tidak tahu bahwa yang sedang keluar masuk pasar, yang duduk-duduk di kedai, bercengkrama dengan para kuli itu adalah sang gubernur. Pada suatu siang yang terik, seorang pedagang dari Syam sedang kerepotan mengurus barang bawaannya. Tiba-tiba ia melihat seorang pria bertubuh kekar dengan pakaian lusuh. Orang itu segera dipanggilnya; “Hai, kuli, kemari! Bawakan barang ini ke kedai di seberang jalan itu.” Tanpa membantah sedikit pun, dengan patuh pria berpakaian lusuh itu mengangkut bungkusan berat dan besar tersebut ke kedai yang dituju. Saat sedang menyeberang jalan, seseorang mengenali kuli tadi. Ia segera menyapa dengan hormat, “Wahai Amir. Biarlah saya yang mengangkatnya.” Si pedagang terperanjat seraya bertanya pada orang itu, “Siapa dia? Mengapa seorang kuli kau panggil Amir?”. Ia menjawab, “Tidak tahukah Anda, kalau orang itu adalah gubernur kami?”. Dengan tubuh lemas seraya membungkuk-bungkuk ia memohon maaf pada ‘kuli upahannya’ yang ternyata adalah Salman Al Farisi. “Ampunilah saya, Tuan. Sungguh saya tidak tahu bahwa Tuan adalah amir negeri Madain." ucap si pedagang. “Letakkanlah barang itu, Tuan. Biarlah saya yang mengangkutnya sendiri.” Salman menggeleng, “Tidak, pekerjaan ini sudah aku sanggupi sejak awal, dan aku akan membawanya sampai ke kedai yang kau maksudkan.” Setelah sekujur badannya penuh dengan keringat, Salman menaruh barang bawaannya di kedai itu, ia lantas berkata, “Kerja ini tidak ada hubungannya dengan jabatanku. Aku sudah berjanji mengangkat barang ini kemari. Maka aku wajib melaksanakannya hingga selesai. 

     Bukankah merupakan kewajiban setiap umat Islam untuk meringankan beban saudaranya?” Pedagang itu hanya menggeleng. Ia tidak mengerti bagaimana seorang berpangkat tinggi bersedia disuruh sebagai kuli. Mengapa tidak ada pengawal atau tanda-tanda kebesaran yang menunjukkan kalau ia seorang gubernur? Ia barangkali belum tahu, begitulah seharusnya sikap seorang pemimpin menurut ajaran Islam. Tidak bersombong diri dengan kedudukannya, namun ia dituntut merendah di depan rakyatnya. Karena sejatinya, menjadi pemimpin adalah pelayan. Ya seperti, Salman Al Farisi, Gubernur Zuhud yang menjadi kuli di Pasar.

[Sumber: Kisah Orang-orang Sabar, dengan editing tanpa mengurangi esensi]

Menuntut Ilmu Menurut Imam Al-Ghazali

Posted by Unknown On 5:09 PM No comments

Jaman sekarang banyak para profesional atau kaum cendekiawan berlatarbelakang “ilmu-ilmu umum”, senang dan bangga memelihara statusnya sebagai “orang awam” dalam agama. Meskipun sudah lulus kuliah berpuluh-puluh tahun, dan menjadi orang muslim sejak lahir, mereka senang mengucapkan, “saya ini awam dalam agama.” Jadilah ia awam seumur hidupnya dalam bidang-bidang ilmu agama, tetapi sangat pakar dalam ilmu-ilmu tertentu di bidang profesinya.

Fenomena semacam ini sangat lazim kita jumpai. Mereka menjadi awam dalam ilmu-ilmu agama bukan karena otaknya bodoh, atau tidak punya waktu untuk belajar, tetapi lebih karena mereka tidak memahami konsepsi ilmu dalam Islam. Mereka tidak paham, mana ilmu yang fardhu 'ain, dan mana ilmu yang fardhu kifayah.

Padahal, konsep ini telah dijelaskan dengan gamblang oleh Imam al-Ghazali melalui kitabnya yang terkenal “Ihya’ Ulumuddin”.

Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan masalah aqidah dan ibadah wajib, misalnya, termasuk ilmu yang fardhu ‘ain. Secara ringkas, ilmu yang fardhu ‘ain adalah ilmu yang diperlukan untuk mengamalkan kewajiban. Untuk orang-orang yang dikarunai akal yang cerdas, maka beban dan kewajiban untuk mengkaji keilmuan itu tentu lebih berat. Mereka seharusnya lebih mendalami ilmu-ilmu yang fardhu ‘ain, lebih daripada orang lain yang kurang kadar kecerdasan akalnya.

Bagi kaum cendekiawan atau ulama, maka tanggung jawab mereka juga lebih berat. Disamping wajib mengetahui yang benar, mereka juga harus mengetahui ilmu tentang hal-hal yang bathil yang tersebar di tengah masyarakat. Sebab, kata al-Ghazali, orang yang tidak mengetahui kebathilan, ia akan terperosok di dalamnya.

Para ulama saat ini, misalnya, wajib memahami dengan mendalam masalah sekularisme, liberalisme, pluralisme, marxisme, dan sebagainya. Paham-paham inilah yang sekarang menguasai dunia dan mencengkeram benak kaum muslimin.

Jika para ulama tidak menguasai masalah-masalah pemikiran kontemporer, maka mereka akan menjadi “penonton yang baik” di satu arena “pertarungan pemikiran” yang dahsyat.

Mencari ilmu, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah saw, adalah wajib bagi setiap Muslim. Artinya, setiap hari, kaum Muslim seharusnya sibuk dalam aktivitas keilmuan. Tidak ada hari tanpa mengaji dan menambah ilmu, terutama ilmu-ilmu yang fardhu 'ain, maupun ilmu yang fardhu kifayah.

Imam al-Ghazali mencontohkan, ilmu fardhu kifayah seperti ilmu kedokteran dan ilmu berhitung. Ilmu jenis ini diperkukan untuk tegaknya sistem masyarakat. Fardhu kifayah artinya, jika sebagian kaum Muslimin sudah menguasai ilmu itu, dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan masyarakat (kifayah), maka gugurlah kewajiban itu dari sebagian kaum muslimin lainnya.

Tidak perlu semua anggota masyarakat menjadi dokter, dan tidak perlu semuanya pakar dalam
matematika, teknik elektro, teknik komputer, teknik pesawat, dan sebagainya. Cukup sebagian kaum Muslimin yang menguasai bidang ilmu fardhu kifayah.

Selain kesalahan dalam memahami konsepsi ilmu, masalah mendasar lainnya dalam masalah ilmu dan pendidikan adalah soal niat mencari ilmu. Imam al-Ghazali sudah mengingatkan dengan bahasa yang lugas dalam mukaddimah kitab “Bidayatul Hidayah”.

Kata beliau, jika seseorang mencari ilmu dengan maksud untuk sekedar hebat-hebatan, mencari pujian, atau untuk mengumpulkan harta benda, maka dia telah berjalan untuk menghancurkan agamanya, merusak dirinya sendiri, dan telah menjual akhirat dengan dunia. (Fa-anta saa’in ilaa hadmi diinika wa ihlaaki nafsika, wa bay’i aakhiratika bi dunyaaka).

Bagi Imam al-Ghazali, ilmu adalah sesuatu yang sangat mulia, dan sebab itu terlalu murah jika ilmu ditujukan untuk hal-hal yang sifatnya duniawi. Ilmu haruslah ditujukan untuk ibadah dan mencari hidayah Allah.

Siapapun yang mencari ilmu dengan niat yang mulia seperti itu, kata beliau, maka para Malaikat akan melindungi pencari ilmu itu dengan membentangkan sayapnya; dan ikan-ikan di laut mendoakan si pencari ilmu yang ikhlas dalam langkahnya.

Jika saat ini kita mengalami krisis ulama, dan pesantren serta kampus-kampus Islam tidak melahirkan ulama-ulama yang tangguh, maka kita perlu melakukan introspeksi ke dalam, apakah konsepsi ilmu dan niat dalam mencari ilmu sudah benar?

Banyak jurusan dalam ilmu-ilmu agama dibentuk, dengan tujuan untuk mencari lapangan kerja. Mereka yang lulus, banyak yang kemudian tidak tertarik untuk mengembangkan ilmunya lebih jauh, atau mengamalkan ilmunya untuk berdakwah, tetapi justru meniatkan ilmunya untuk mencari harta benda dunia, sebagaimana sudah diperingatkan oleh al-Ghazali

Awam Mereka biasanya hanya suka mendengar ustad ceramah, seminggu sekali, atau sebulan sekali, atau melalui media radio/telivisi, dengan tradisi “jiping” (ngaji kuping).

Belajar agama dianggap sambilan, atau hanya sekedar mengisi waktu, dengan tenaga dan pikiran sisa. Mereka sanggup belajar bahasa Inggris, membayar mahal, dan bersungguh-sungguh mencurahkan pikirannya, untuk menguasai bahasa itu. Tetapi, ketika berhadapan dengan bahasa Arab, mereka merasa tidak berkepentingan sama sekali.

Padahal, Imam Syafii menjelaskan dalam Kitab Risalah, bahwa mempalajari bahasa Arab adalah fardhu 'ain, dan setiap orang Muslim wajib menguasai bahasa Arab, semaksimal mungkin, sesuai dengan kemampuannya. Artinya, adalah berdosa, jika seseorang tidak bersungguh-sungguh belajar bahasa Arab. Padahal, jika orang-orang cerdas mau bersungguh-sungguh menggunakan akalnya untuk menguasai bahasa Arab, mereka insyaallah bisa menguasainya, sebagaimana mereka mampu memguasai bahasa-bahasa asing lainnya.

Site search