Sunday, March 24, 2013

Sepenggal Kisah di Desemberku

Posted by Unknown On 12:12 PM No comments


Sepenggal Kisah di Desemberku
Oleh Kasmawati (16712213)

1 Desember 2012, Sendai, Jepang
                Give me the ball, Mal, here, here!” Richard, temanku di kelas internasional Marine Biology, Tohoku University, melambaikan tangan meminta operan bolaku. Aku bingung, aku sedang terjepit. Dikelilingi dua lawan berbadan besar seperti Steven dan Daniel membuatku kewalahan. Ya sudahlah, ku tendang saja bolanya ke sembarang arah. Ku lihat Sang Jun langsung mengambil bola itu dan menendangnya ke gawang timku. Priiiit!! Tepat setelah itu peluit wasit berbunyi menandakan pertandingan usai. Skor akhir 3-2, timku kalah. Hhhh…
                Aku berjalan ke tepi lapangan. Richard mengikutiku dan duduk di sampingku.
                You looked so confuse today. What’s wrong?” Tanyanya.
                Aku diam. Menatap langit Jepang yang mulai menurunkan saljunya. Dingin yang ku rasakan sekarang lebih dingin dari yang seharusnya. Apa yang harus ku katakan? Aku tak mau terlihat cengeng di depan teman-temanku. Aku adalah lelaki!
                Karena aku diam saja, Richard mengulang pertanyaannya, mengira aku tadi tidak mendengar karena sedang kelelahan. Aku tersenyum pahit.
                Nothing, I’m just tired and sleepy because of so many lecture tasks that should be done last night,” Aku berbohong.
                Richard mengangguk-angguk. “Oh… I suppose you have problems.”
                Ku rasakan butiran salju mengenai rambut dan baju hangatku. Aku merasa kesepian di keramaian ini. Semua ini berawal saat aku menyadari waktu yang terus berputar mengembalikanku ke bulan yang memiliki kisah tragis di kehidupanku, Desember…
26 Desember 2004, Aceh, Indonesia
                Pagi ini aku pergi ke rumah Bibi. Aku ingin bermain bersama sepupuku, Bahri, sambil menonton kartun di TV. Harusnya sih aku ikut mengaji di surau, tetapi aku sedang malas. Jiwa kanak-kanakku mengizinkanku untuk ini.
                “Bahri, Akmal, ada susu nih. Ayo diminum, jangan nonton kartun terus,” Panggil Bibi.
                “Iya,” Kami berdua menyahut tanpa memalingkan muka dari TV. Kartunnya sedang seru-serunya sih…
                Tiba-tiba aku merasakan tubuhku diguncang-guncang oleh bumi. Pintu dan jendela bergoyang. Gempa! Kami semua panik. Bibi langsung menggamit tanganku dan Bahri dan berlari keluar rumah. Di luar, ternyata sudah banyak orang yang bertujuan sama dengan kami, berusaha menyelamatkan diri dari kemungkinan rumah roboh karena gempa. Namun tidak beberapa lama kemudian gempanya berhenti. Semua orang terlihat lega dan mulai memasuki rumah masing-masing.
                Ayah menjemputku. Beliau khawatir aku ketakutan karena tidak bersama Ibu. Sampai di rumah Ibu memelukku. Setelah yakin bahwa aku tidak apa-apa, Ibu tersenyum lalu menyuruhku menggosok gigi. Saat aku sedang menggosok gigi, gempa kembali mengguncang tubuh kecilku. Cepat-cepat aku berkumur-kumur menyelesaikan gosok gigiku. Kedua orang tuaku segera mengajakku keluar tepat saat gempa kembali berhenti.
                “Ya sudah, untuk berjaga-jaga kita keluar saja dari rumah. Mungkin akan ada gempa susulan yang lebih kuat,” Kata Ayah.
                Kami sekeluarga pun langsung keluar. Benar kata Ayah, ternyata ada gempa lagi. Dan kali ini, kami semua terkejut saat melihat air yang tinggi sekali ada di belakang kami. Lari, semua orang berlari. Ayah dan Ibu yang berada di belakangku terus berteriak menyuruhku lari sekuat tenaga. Kerusuhan yang terjadi sangat menggambarkan kepanikan kami.
                Air raksasa itu semakin mendekat. Ketika aku tak lagi mendengar suara teriakan kedua orang tuaku, aku menoleh ke belakang. Aku semakin panik. Mereka sudah tidak terlihat! Lari, lari, aku terus berlari. Lari, lari, aku terus berlari sambil dalam hatiku aku berdoa semoga kami selamat dari air raksasa itu. Aku takut.
                Ku lihat orang-orang berlari menuju masjid kampung kami. Karena aku sudah benar-benar tidak tahu mau apa dan harus bagaimana lagi, aku mengikuti mereka. Sesampainya di dalam masjid, aku melihat keluar, air semakin dekat. Aku berlari lagi keluar masjid, aku mengira mungkin aku masih bisa berlari jauh darinya. Tetapi aku semakin ketakutan, akhirnya aku kembali lagi ke masjid. Ternyata air sudah masuk ke masjid, aku segera naik ke atas mimbar, begitu juga orang-orang yang ada di sana. Saat ku lihat air semakin tinggi, hampir menenggelamkan masjid, aku terus berdoa dalam ketakutanku yang semakin menggila ini. Ya Allah, aku memohon perlindungan-Mu! Allahu Akbar!
Untunglah, peristiwa ini tidak berlangsung lama. Sekitar 15 menit kemudian, air mulai surut. Saat air sudah benar-benar surut, kami semua yang selamat segera naik ke lantai dua masjid. Di sana, aku bertemu dengan Om dan kakak sepupuku. Kami pun saling berpelukan. Entahlah, lega dan sedih bercampur jadi satu. Apalagi setelah mendengar cerita ibu-ibu yang menangis kehilangan anaknya. Aku? Aku! Aku kehilangan kedua orang tuaku! Aku tidak tahu apakah mereka selamat atau tidak! Aku harus apa?! Berharap mereka selamat, hanya itulah yang bisa aku lakukan.
Sekitar pukul 10.40 ada yang datang ke masjid. Ternyata itu Bang Syaiful, kakak sepupuku, yang selamat karena sedang ada acara di luar kampung. Katanya, dia melihat air raksasa itu dari sana. Setelah air surut dia langsung ke sini, ingin memastikan bahwa kami semua selamat.
Kami berbagi cerita hanya sebentar saja. Bang Syaiful harus segera mengabari keluarga yang ada di Indrapuri. Aku menebak nenek pasti terkejut mendengarnya.
Saat Maghrib datang, Bang Syaiful datang lagi bersama keluarga yang lain. Aku langsung diantar ke Indrapuri oleh Paman, adik ipar Ibu. Yang lain segera melakukan pencarian terhadap keluarga kami yang hilang. Awalnya aku ingin ikut tetapi mereka tidak membolehkan. Aku masih kecil katanya. Padahal kan aku juga ingin mencari Ayah dan Ibu…
27 Desember 2004, Indrapuri, Indonesia
Setelah aku sarapan, Bang Syaiful dan yang lain pulang dengan muka lelah. Aku langsung menyambut mereka, berharap kabar baik lah yang akan ku dengar.
“Gimana Bang? Ayah dan Ibu sudah ditemukan?” Aku bertanya dengan harap-harap cemas.
Saat ku lihat Bang Syaiful menggeleng, aku merasakan gempa dan air raksasa itu kembali datang dan menghanyutkanku. Aku menangis. Mengingat pelukan Ibu kemarin, menyadarkanku bahwa itulah pelukan terakhir beliau untukku. Kasih beliau di pelukan itu ku rasakan sangat besar. Kini aku merasa sangat kehilangan.
***
Setelah peristiwa itu, aku menjalani kehidupan normal seperti anak lainnya. Aku tidak mau terlihat bersedih. Aku ingin bangkit dari keterpurukan pahit itu. Aku harus menunjukkan bahwa aku sama dengan anak-anak lain yang kedua orang tuanya masih lengkap. Aku terus berjuang semampuku. Berbagai prestasi pun mulai ku raih. Dan kini, mungkin ini adalah salah satu langkah hebat yang diberikan-Nya, aku bisa berada di sini, di Jepang ini, di universitas ini, bertemu dengan banyak orang dari berbagai Negara. Atau, mungkin ini adalah salah satu hasil dari perjuangan kerasku selama ini? Entahlah, entah ini hasil atau suatu langkah yang akan membawaku ke langkah selanjutnya untuk berhasil, yang pasti aku tahu perjuanganku belum selesai. Dan teman, ingatlah pesanku ini, saat engkau merasa kehidupan telah berbuat tidak adil, percayalah Tuhan tahu yang terbaik. (Terinspirasi dari kisah nyata seorang teman, Chairul Akmal, yang motivasinya begitu hebat, yang ketegarannya begitu kuat)
*****

Ibu itu Luar Biasa
Oleh Catur Budi K.

     Sekitar satu jam yang lalu, saya melihat ketulusan dan kejujuran yang benar - benar tulus.
    Alkisah, seorang ibu -ibu entah dia hanya bisu ataukah ditambah gila- sosoknya mungkin tidak indah mempesona dengan hiasan wajah penuh rupa. Di suatu warung tiba-tiba dia datang mendekat dengan bahsa tubuh penuh makna. Entah apa maksudnya. Saya yang saat itu berada di warung tersebut diam dengan penuh tanda tanya. Kemudian ibu itu pergi keluar dan kembali dengan beberapa lembar uang. Yah, benar dia menemukannya dan kemudian dengan ketulusannya dia berikan uang itu kepada sang pemilik toko.
     Barangkali Si Ibu merasa uang itu akan jauh lebih berguna jika berada di tangan si pemilik toko itu. Ibu itupun ternyata juga datang untuk membeli sebungkus makanan dan membayar dengan uang yang dimilikinya. Dan satu hal yang menarik lagi, ketika saya telah menyelesaikan keperluan saya di warung itu dan hendak keluar kami pun berpapasan. Saya melihatnya dengan jelas dari luar toko, dia memberikan uang seribu koin. Saya tidak paham betul apa maksudnya, sepertinya dia ingin mengembalikan kelebihan kembalian yang didapatinya. Luar biasa. (Dengan sedikit perubahan tanpa mengubah esensi cerita)

0 comments:

Post a Comment

Site search