Sepenggal
Kisah di Desemberku
Oleh
Kasmawati (16712213)
1 Desember 2012, Sendai, Jepang
“Give me the ball, Mal, here, here!”
Richard, temanku di kelas internasional Marine Biology, Tohoku University,
melambaikan tangan meminta operan bolaku. Aku bingung, aku sedang terjepit.
Dikelilingi dua lawan berbadan besar seperti Steven dan Daniel membuatku
kewalahan. Ya sudahlah, ku tendang saja bolanya ke sembarang arah. Ku lihat
Sang Jun langsung mengambil bola itu dan menendangnya ke gawang timku.
Priiiit!! Tepat setelah itu peluit wasit berbunyi menandakan pertandingan usai.
Skor akhir 3-2, timku kalah. Hhhh…
Aku berjalan ke tepi lapangan. Richard
mengikutiku dan duduk di sampingku.
“You looked so confuse today.
What’s wrong?” Tanyanya.
Aku diam. Menatap langit Jepang yang
mulai menurunkan saljunya. Dingin yang ku rasakan sekarang lebih dingin dari
yang seharusnya. Apa yang harus ku katakan? Aku tak mau terlihat cengeng di
depan teman-temanku. Aku adalah lelaki!
Karena aku diam saja, Richard
mengulang pertanyaannya, mengira aku tadi tidak mendengar karena sedang
kelelahan. Aku tersenyum pahit.
“Nothing, I’m just tired and sleepy
because of so many lecture tasks that should be done last night,” Aku
berbohong.
Richard mengangguk-angguk. “Oh… I
suppose you have problems.”
Ku rasakan butiran salju mengenai
rambut dan baju hangatku. Aku merasa kesepian di keramaian ini. Semua ini
berawal saat aku menyadari waktu yang terus berputar mengembalikanku ke bulan
yang memiliki kisah tragis di kehidupanku, Desember…
26 Desember 2004, Aceh, Indonesia
Pagi ini aku pergi ke rumah Bibi. Aku
ingin bermain bersama sepupuku, Bahri, sambil menonton kartun di TV. Harusnya
sih aku ikut mengaji di surau, tetapi aku sedang malas. Jiwa kanak-kanakku
mengizinkanku untuk ini.
“Bahri, Akmal, ada susu nih. Ayo
diminum, jangan nonton kartun terus,” Panggil Bibi.
“Iya,” Kami berdua menyahut tanpa
memalingkan muka dari TV. Kartunnya sedang seru-serunya sih…
Tiba-tiba aku merasakan tubuhku
diguncang-guncang oleh bumi. Pintu dan jendela bergoyang. Gempa! Kami semua
panik. Bibi langsung menggamit tanganku dan Bahri dan berlari keluar rumah. Di
luar, ternyata sudah banyak orang yang bertujuan sama dengan kami, berusaha
menyelamatkan diri dari kemungkinan rumah roboh karena gempa. Namun tidak
beberapa lama kemudian gempanya berhenti. Semua orang terlihat lega dan mulai
memasuki rumah masing-masing.
Ayah menjemputku. Beliau khawatir aku
ketakutan karena tidak bersama Ibu. Sampai di rumah Ibu memelukku. Setelah
yakin bahwa aku tidak apa-apa, Ibu tersenyum lalu menyuruhku menggosok gigi.
Saat aku sedang menggosok gigi, gempa kembali mengguncang tubuh kecilku.
Cepat-cepat aku berkumur-kumur menyelesaikan gosok gigiku. Kedua orang tuaku
segera mengajakku keluar tepat saat gempa kembali berhenti.
“Ya sudah, untuk berjaga-jaga kita
keluar saja dari rumah. Mungkin akan ada gempa susulan yang lebih kuat,” Kata
Ayah.
Kami sekeluarga pun langsung keluar.
Benar kata Ayah, ternyata ada gempa lagi. Dan kali ini, kami semua terkejut
saat melihat air yang tinggi sekali ada di belakang kami. Lari, semua orang
berlari. Ayah dan Ibu yang berada di belakangku terus berteriak menyuruhku lari
sekuat tenaga. Kerusuhan yang terjadi sangat menggambarkan kepanikan kami.
Air raksasa itu semakin mendekat.
Ketika aku tak lagi mendengar suara teriakan kedua orang tuaku, aku menoleh ke
belakang. Aku semakin panik. Mereka sudah tidak terlihat! Lari, lari, aku terus
berlari. Lari, lari, aku terus berlari sambil dalam hatiku aku berdoa semoga
kami selamat dari air raksasa itu. Aku takut.
Ku lihat orang-orang berlari menuju
masjid kampung kami. Karena aku sudah benar-benar tidak tahu mau apa dan harus
bagaimana lagi, aku mengikuti mereka. Sesampainya di dalam masjid, aku melihat
keluar, air semakin dekat. Aku berlari lagi keluar masjid, aku mengira mungkin
aku masih bisa berlari jauh darinya. Tetapi aku semakin ketakutan, akhirnya aku
kembali lagi ke masjid. Ternyata air sudah masuk ke masjid, aku segera naik ke
atas mimbar, begitu juga orang-orang yang ada di sana. Saat ku lihat air
semakin tinggi, hampir menenggelamkan masjid, aku terus berdoa dalam
ketakutanku yang semakin menggila ini. Ya Allah, aku memohon perlindungan-Mu!
Allahu Akbar!
Untunglah, peristiwa ini tidak berlangsung
lama. Sekitar 15 menit kemudian, air mulai surut. Saat air sudah benar-benar
surut, kami semua yang selamat segera naik ke lantai dua masjid. Di sana, aku
bertemu dengan Om dan kakak sepupuku. Kami pun saling berpelukan. Entahlah,
lega dan sedih bercampur jadi satu. Apalagi setelah mendengar cerita ibu-ibu
yang menangis kehilangan anaknya. Aku? Aku! Aku kehilangan kedua orang tuaku!
Aku tidak tahu apakah mereka selamat atau tidak! Aku harus apa?! Berharap
mereka selamat, hanya itulah yang bisa aku lakukan.
Sekitar pukul 10.40 ada yang datang ke
masjid. Ternyata itu Bang Syaiful, kakak sepupuku, yang selamat karena sedang
ada acara di luar kampung. Katanya, dia melihat air raksasa itu dari sana.
Setelah air surut dia langsung ke sini, ingin memastikan bahwa kami semua
selamat.
Kami berbagi cerita hanya sebentar saja.
Bang Syaiful harus segera mengabari keluarga yang ada di Indrapuri. Aku menebak
nenek pasti terkejut mendengarnya.
Saat Maghrib datang, Bang Syaiful datang
lagi bersama keluarga yang lain. Aku langsung diantar ke Indrapuri oleh Paman,
adik ipar Ibu. Yang lain segera melakukan pencarian terhadap keluarga kami yang
hilang. Awalnya aku ingin ikut tetapi mereka tidak membolehkan. Aku masih kecil
katanya. Padahal kan aku juga ingin mencari Ayah dan Ibu…
27 Desember 2004, Indrapuri, Indonesia
Setelah aku sarapan, Bang Syaiful dan yang
lain pulang dengan muka lelah. Aku langsung menyambut mereka, berharap kabar
baik lah yang akan ku dengar.
“Gimana Bang? Ayah dan Ibu sudah
ditemukan?” Aku bertanya dengan harap-harap cemas.
Saat ku lihat Bang Syaiful menggeleng, aku
merasakan gempa dan air raksasa itu kembali datang dan menghanyutkanku. Aku
menangis. Mengingat pelukan Ibu kemarin, menyadarkanku bahwa itulah pelukan
terakhir beliau untukku. Kasih beliau di pelukan itu ku rasakan sangat besar.
Kini aku merasa sangat kehilangan.
***
Setelah peristiwa itu, aku menjalani
kehidupan normal seperti anak lainnya. Aku tidak mau terlihat bersedih. Aku
ingin bangkit dari keterpurukan pahit itu. Aku harus menunjukkan bahwa aku sama
dengan anak-anak lain yang kedua orang tuanya masih lengkap. Aku terus berjuang
semampuku. Berbagai prestasi pun mulai ku raih. Dan kini, mungkin ini adalah
salah satu langkah hebat yang diberikan-Nya, aku bisa berada di sini, di Jepang
ini, di universitas ini, bertemu dengan banyak orang dari berbagai Negara.
Atau, mungkin ini adalah salah satu hasil dari perjuangan kerasku selama ini?
Entahlah, entah ini hasil atau suatu langkah yang akan membawaku ke langkah
selanjutnya untuk berhasil, yang pasti aku tahu perjuanganku belum selesai. Dan
teman, ingatlah pesanku ini, saat engkau merasa kehidupan telah berbuat tidak
adil, percayalah Tuhan tahu yang terbaik. (Terinspirasi dari kisah nyata
seorang teman, Chairul Akmal, yang motivasinya begitu hebat, yang ketegarannya
begitu kuat)
*****
Ibu itu Luar Biasa
Oleh Catur Budi K.
Sekitar satu jam yang lalu, saya melihat
ketulusan dan kejujuran yang benar - benar tulus.
Alkisah, seorang ibu -ibu
entah dia hanya bisu ataukah ditambah gila- sosoknya mungkin tidak indah
mempesona dengan hiasan wajah penuh rupa. Di suatu warung tiba-tiba dia datang mendekat dengan
bahsa tubuh penuh makna. Entah apa maksudnya. Saya yang saat itu berada di warung
tersebut diam dengan
penuh tanda tanya. Kemudian ibu itu pergi keluar dan kembali dengan beberapa
lembar uang. Yah, benar dia menemukannya dan kemudian dengan
ketulusannya dia berikan uang itu kepada sang pemilik toko.
Barangkali Si Ibu merasa uang itu akan jauh lebih berguna jika
berada di
tangan si pemilik toko itu. Ibu itupun ternyata juga datang untuk
membeli sebungkus makanan dan membayar dengan uang yang dimilikinya. Dan
satu hal
yang menarik lagi, ketika saya telah menyelesaikan keperluan saya di
warung itu dan hendak keluar kami pun berpapasan. Saya
melihatnya dengan jelas dari luar toko, dia memberikan uang seribu koin.
Saya tidak paham betul apa maksudnya, sepertinya dia ingin
mengembalikan kelebihan
kembalian yang didapatinya. Luar biasa. (Dengan sedikit perubahan tanpa mengubah esensi cerita)
No comments:
Post a Comment